“Ibu mungkin tidak pulang, Nak.”
jawabnya.
“Apa ibu tidak kangen denganku?”
tanyaku lagi.
“Tentu saja ibu kangen dan tetap
sayang padamu.” jawabnya yang kembali berusaha menenangkanku.
Tapi dalam batinku tetap banyak
pertanyaan yang timbul; Kenapa ibu tidak mau pulang? Apakah ada seorang anak
sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau pulang ke rumah ini?
Ibu dan ayah tidak jauh berbeda. Dua-duanya
sering sekali pergi, mereka bahkan bisa pergi sampai berhari-hari. Terakhir
yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat dia mengemasi barangnya di
dalam tas.
“Enak ya jadi orang besar,
pakaiannya banyak.” batinku yang masih polos.
Pagi sebelum dia pergi, seperti
biasa dia akan mencium pipiku dan pipi ayah, dan kemudian ayah mengantarnya.
“Enak ya jadi orang yang sudah
besar, bisa pergi kemana-mana dan tidak harus terus berada di rumah.” batinku yang lagi-lagi
masih lugu.
Saat malam sebelumnya, aku bertanya
pada ibu, kemanakah dia akan pergi. Ke Jakarta? Apakah ke Surabaya? Medan? Ibu
terus menggeleng. Kupikir, sanak saudaraku hanya berada di daerah-daerah itu
saja, dan ibuku tidak akan mungkin untuk pergi ke tempat yang tidak jelas asal usulnya.
“Ibu akan ke Aceh, nak.” celetuk
ibu.
Aku bingung. Dimanakah Aceh itu?
Apakah jauh dari rumah? Bisa jalan kaki? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang
bagiku penting untuk dijawab.
“Ibu kesana naik apa?”
“Ibu naik pesawat terbang.”
jawabnya. Ya, menurutku itu tidak cukup menjawab dari segala keingintahuanku
tentang kepergian ibu kali ini.
Tapi lama ibu tidak juga pulang,
setiap kali aku bertanya di mana ibu berada, jawaban ayah tetap sama, “Ibu ke
laut.”
“Enak ya jadi orang yang sudah
besar, setelah pergi ke suatu tempat bisa langsung pergi tempat lainnya.
Setelah pergi ke Aceh, bisa pergi ke laut.” pikirku yang tetap saja menganggap
itu enak.
Nenek dan kakekku kadang
mengelus-elus rambut dan memelukku, terutama ketika aku menonton televisi mengenai
air yang berlimpah yang merusak bangunan-bangunan besar. Kupikir, apa air-air
itu berasal dari laut? Apa ibu berada di antaranya? Nenek dan kakek hanya bisa
terdiam, dan menangis.
Jujur, aku lebih senang air daripada
udara. Ibu pernah bertanya mengapa? Aku berpikir bahwa jadi ikan lebih enak
daripada jadi burung. Bukankah burung bisa jatuh saat terbang? Sedangkan ikan
tidak akan mungkin jatuh. Aku juga pernah beberapa kali jatuh. Dan ternyata
jatuh itu sakit.
Aku bertanya pada ayah, apakah ibu
menjadi ikan? Ia bilang tidak, ibu tetap menjadi ibu. Tapi apakah kelamaan
berenang di air itu akan membuatnya capek? Ayah kembali bilang tidak, sebab ibu
itu orang hebat. Ya, aku setuju. Ibu sangat ramah dan suka menolong semua orang
yang membutuhkan bantuannya. Ayah kembali bilang, makanya aku tidak perlu
menunggu ibu pulang sebab di laut ibu sedang membantu ikan-ikan untuk berenang.
Aku mengangguk untuk memastikan aku mengerti maksud ayah. Mungkin disana juga
banyak anak kecil sepertiku yang belum bisa berenang dan butuh bimbingan ibu
untuk berenang dengan baik. Tapi kenapa ibu tidak pernah meneleponku? Apa
disana tidak ada telepon? Jika tidak ada, apa disana tidak ada sepucuk suratpun
yang dapat dikirimkan ke rumah? Mungkin aku yang harus menulis suratnya terlebih
dahulu, tapi aku tidak bisa menulis surat dan yang pasti mengirimnya ke alamat
ibu yang sekarang.
Dengan dibantu anak teman ayahku,
aku dibantu mengirimkan surat untuk ibu. Dengan cara yang tidak kumengerti sama
sekali, yaitu dengan cara menulis surat dan mengirimkannya dengan cara
membentuk kapal-kapalan lalu dialirkan di sungai. Ia mengatakan bahwa aliran
sungai nantinya akan menuju laut, dan pasti ibu akan membaca surat tersebut.
Aku pun lega. Ia mulai membuat perahu kertas.
“Enak sekali jadi anak sekolah. Bisa
membuat apa saja dan tahu banyak hal.” Kata pikiran logisku.
Siang hari, kami pun mengalirkan
surat tersebut dari dekat rumah. Sesaat setelah surat dialirkan dalam sungai,
aku bertanya, “Cara ibu nanti membalas suratku bagaimana?”
“Lewat hujan.”
“Kenapa lewat hujan?” tanyaku ingin
tahu.
“Kata bu guru, hujan itu berasal
dari air yang menguap. Air di danau, di sungai, dan di laut menguap karena
panas matahari. Uap kemudian berkumpul menjadi awan dan kemudian turun menjadi
hujan.” jelasnya.
Aku bingung, kuiyakan saja segala
penjelasannya. Yang penting aku cukup dibuatnya tersenyum lega. Aku
membayangkan alangkah indahnya, jika surat dari ibuku naik ke langit, lalu ada
di dalam awan dan kemudian turun bersama hujan di depan rumahku. Ya, tidak
salah untuk pemikiran anak seumuranku.
Aku berkata, “Nanti kalau turun
hujan, aku dibacakan surat dari ibu, ya?”
“Iya.” jawabnya simpel.
Sewaktu makan malam, kuceritakan
segala yang telah kulakukan selama hari itu kepada ayah. Dia hanya terdiam, bibirnya
terlihat bergetar, matanya mulai berkaca-kaca dan memelukku erat-erat. Kupikir
ia juga setuju dengan cara yang aku lakukan tadi.
Malamnya, aku bermimpi bahwa ibu
sedang berenang bersama ikan-ikan lucu lainnya sedang menyelamatkan kapal yang
sedang tenggelam. Aku juga melihat anak-anak kecil seusiaku di dalam kapal itu,
mereka terlihat senang karena akan diselamatkan oleh ibuku. Sempat terbesit
dalam otakku, ibuku sangat pemberani. Dia hebat!
Ku awali pagiku dengan berteriak
girang karena melihat selembar amplop dibungkus plastik bening di jendela
kamarku. Dengan sigap, aku mengambil amplop itu. Kemudian setelah masuk rumah
lagi, aku langsung sibuk mencari ayah yang ternyata sedang mandi. “Cepat ayah!
Ada surat balasan dari ibu! Semalam hujan ya?”
Sambil aku sarapan, ayah membacakan
surat itu untukku. Katanya, ibu telah menerima suratku, dan berpesan bahwa agar
tidak usah mengirim surat lagi karena ibu bisa melihatku dengan baik dari laut.
Aku senang sekaligus sedih, aku senang karena ibu membalas suratku, tapi aku
juga sedih karena ibu tidak ingin aku mengirim surat lagi. Ayah yang peka
terhadap perasaanku saat itu berkata bahwa aku boleh mengirim surat kepada ibu
sekali lagi dengan tambahan bunga. Ayah menyuruhku mengambil bunga di halaman
untuk ibu, biar ayah yang menulis surat.
Aku menuntun ayah menulis surat, aku
bilang ke ayah kalau aku ingin memberitahu ibu supaya aku masih boleh
mengiriminya surat, dan aku ingin bilang supaya aku cepat-cepat sekolah supaya
nanti aku bisa mengirim surat sendiri. Lalu kami berduapun berangkat ke laut.
Sesampai disana, aku sangat senang
sekali. Aku sendiri yang melempar surat yang mungkin menjadi surat terakhir
itu. Ayah juga melemparkan bunga yang aku pilih tadi. Saat makan siang pun
tiba.
“Kamu mau makan ikan apa, nak?”
tanya ayah.
Aku menggelengkan kepala. Ayah
heran, dia bertanya, “Kenapa?”
Lagi-lagi dengan polosnya aku
berkata, “Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu akan kehilangan
banyak teman di laut.”
Ayah kembali terdiam dan matanya
berarir. Ia menangis sambil memelukku. Yang ku pikirkan sekarang ada dua,
kenapa ibu tidak pernah pulang, dan kenapa ayah sekarang gampang menangis?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar