Saat aku membersihkan meja yang baru saja ditinggali tip, jam dinding di atas pintu masuk café itu sudah menunjukkan pukul 8.
“Wah,
sudah ganti shift.”
Tempat
kerja part timeku ini memiliki 3 jam
ganti pekerja. Dan, pada malam minggu itu, aku mendapat jatah shift kedua, dari
jam 3 siang sampai jam 8 malam.
Kubersihkan
celemekku, kulipat dan kumasukkan tas. Rencananya, aku akan mampir ke toko buku
yang berjarak sekitar 2 kilometer dari tempatku mencari uang itu. Membeli buku
cerita bergambar untuk adikku dan buku masak untuk ibuku.
Tapi
semuanya seperti terhenti ketika seorang pria tanggung memanggilku, saat baru
keluar dari café.
“Hey!”
“Ya? ”
“Mau
langsung pulang? Butuh tebengan?” katanya dalam bahasa inggris. Tentu disertai
dengan senyumnya yang menurutku cukup manis.
“Tidak,
aku mau ke toko buku itu.” sambil menunjuk jalan ke arah toko tersebut. “Ada
yang bisa aku bantu? Maaf, aku sudah ganti shift.”
“Boleh
aku tahu namamu?” juluran tangannya diberikan kepadaku, tak menjawab
pertanyaanku dan terlalu berani, menurutku.
“Jeje.”
“Gibran.”
Aku
bergidik, apa maunya. Memandangiku cukup lama, mengajakku berkenalan, dan
menawariku tumpangan.
“Mau
kemana tadi?” katanya. Aku tahu, itu pertanyaan basa-basi.
“Toko
buku.” kutunjuk lagi jalannya.
“Mau
kutemani? Banyak preman disini.”
“Tak
usah, aku bisa sendiri.” nada bicaraku mulai datar.
“Taka
apa-apa. Aku tak sibuk kok.”
Memang
ada yang bertanya kau sibuk atau tidak? Anak remaja tak jelas tujuannya ini
masih memaksaku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan permintaannya.
“Sip.” katanya
sambil tersenyum lebar.
Dibukakan
pintu mobil belakangnya untukku. Ternyata di kursi depan sebelah kursi supir,
ada seorang wanita-tua-yang-sok-berdandan-muda. Tanpa suara. Tanpa respon
ketika aku masuk ke dalam mobil. Bahkan dia tak memandangiku dari kaca tengah
mobil.
Gibran
masuk mobil dan berkata,
“Sabar
sayang, kita sudah mau jalan lagi.”
‘Sayang’?
Aku berpikir, Gibran-yang-cukup-manis itu punya masalah orientasi seks yang
menyimpang.
Mobil
pun melaju cukup kencang. Hingga kami akhirnya melewati Jl. M.H. Thamrin.
Banyak polisi yang berjaga disana. Aku yang jarang naik kendaraan pribadi tidak
tahu apa-apa tentang hal itu.
“Sudah
sampai sini saja. Aku bisa jalan kesana.” kataku setelah mobil Gibran tiba di
seberang toko berplang “Caterpillar Bookstore”.
“Baiklah.”
balasnya.
“Ini.
Terima kasih ya.” katanya sambil memberiku uang.
“Buat
apa? Tapi, terima kasih ya.” tak butuh jawaban, aku pun keluar dari mobil.
Sambil
menyebrang, aku memasukkan uang yang diberikan Gibran ke kantong bajuku dan berpikir, apa
penampilanku cocok jadi joki?
“Mungkin
cocok, tapi tidak untuk laki-laki muda yang doyan tante-tante lagi. Kerjanya
gampang soalnya, cepet dapat uang.” batinku, sambil tertawa kecil dan memukul
jidatku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar