Jam
tangan Alba yang tergulung di
tangan kiriku telah menunjukkan
pukul 9 malam. Aku masih duduk
dengan segelas
whiskey jenis XO Hannesey di atas mejanya.
Ceritanya, aku akan bertemu kawan lamaku, Roy, di sebuah bar di bilangan Thamrin. Menurut kabar burung, Roy adalah seorang pengusaha keramik dan mebel, yang notabene
bisa disebut orang yang hidupnya sangat berkecukupan.
Pukul
9.10, dia datang. Ternyata ia tidak sendirian, ia bersama
Jeffry, partner kerjanya. Tak banyak yang berubah dari Roy. Masih berperawakan borju, segala yang dikenakan tetap
serba brand-minded, sampai mobil Range Rover-nya yang tetap mengkilap meski berubah warna dari yang dahulu. Masih
tak berubah dari 8 bulan yang
lalu saat aku bertemu dengan Roy di salah satu tempat clubbing terkemuka di
Jakarta Pusat. Ya, kami, John dan Roy, adalah salah dua dari
kalangan nite-society. Aku yang memang masih
bujangan sampai umur ke-27 sekarang
sudah cukup berpengalaman dalam menyambangi
berbagai macam bar, kafe, dan diskotik. Namun, Roy masih lebih banyak makan asam garam dalam dunia party malam
hari. Apalagi, Roy memang memiliki
banyak relasi dengan kalangan
orang berduit dan senasib dengan
Roy, pria beristri namun masih belum
dapat menemukan
kenikmatan dalam bercinta. Sedangkan, Jeffry masih bisa dibilang seorang newbie dalam
kehidupan malam di kota besar, meskipun
jam terbangnya dalam dunia seperti
ini sudah cukup banyak.