“Kamu besok bisa jam berapa?”
“Jam 12 saja. Aku masih sibuk dari pagi.”
“Oke. Kutunggu di tempat biasa.”
Begitu isi percakapan tadi malam. Dan sepertinya dia masih
sibuk hingga malam nanti.
---------------------
Tiga minggu yang lalu, masih tergambar jelas saat dia sedang
memergokiku sedang bergandengan dengan perempuan lain.
Ingin kuakui dia sahabatku? Aku sudah terlanjur mencium
kepalanya dan mengelus rambutnya.
Ingin kuakui dia adikku? Kami sudah terlanjur suap-suapan
terlalu mesra.
Ingin kuakui dia tanteku? Bodoh.
“Berhentilah mencari alasan!” teriaknya. Bagaimana dia ta…
“Jangan ganggu aku lagi!” belum sempat kulanjutkan
pikiranku, segelas es jeruk sudah disambarnya untuk dilempar duluan.
---------------------
“Perempuan memang begitu, ya? Sakit hatinya lama. Susah
sekali untuk memberi maaf. Toh, hanya sekedar khilaf. Siapa yang suruh dia jadi
membosankan? Siapa yang suruh dia jadi sibuk dengan dunianya sendiri? Padahal
aku hanya…”
Cring!
Lamunanku dibuyarkan dengan lonceng tanda pintu kedai kopi
yang sedang dibuka. Aku langsung tersentak dengan kedatangan orang itu. Ya, aku
hapal betul wajah pun dandanannya itu.
“Hai. Ada perlu apa?”
Aku terdiam.
Satu detik. Dua detik. Cukup lama, tak kuhitung berapa lama
aku bergumam sendiri dan menikmati kegugupan itu.
Tunggu, aku tidak menikmatinya.
Bagaimana tidak, aku duduk di meja yang dikhususkan untuk
obrolan empat mata, tapi lelaki itu menggeser kursi dari meja kosong sebelah
dan menempatkannya di antara kami.
Lelaki.
Ya, dia bawa teman laki-lakinya.
“Oh, ya, kenalkan. Dimas.”
Saat masih berharap itu temannya, “Sampah. Secepat ini?”
membatin sambil bersalaman dengannya. Cukup canggung. Ada pikiran melayang-layang
kalau tak sekedar teman.
Apa aku harus tanya, ini siapa? Aku hanya berharap
jawabannya kalau tidak adik kandung, ya, sepupu. Bukan sahabat, apalagi pacar.
Tapi, jikalau bukan, kenapa mereka berjalan menghampiriku tadi sambil
bergandengan tangan?
“Siapa nih?” Bodoh! Sudah terlepas pertanyaan tak berguna
ini, malah kulapisi dengan nada basa-basi dan tawa kecil.
“Pacar. Ngomong-ngomong ada apa mengajakku ketemuan?”
Bisakah kau membalasnya dengan basa-basi juga? Kau bilang kan tadi ‘kenapa
mengajakku?’, itu berarti aku hanya mengajakmu. Kenapa kita malah jadi bertiga
duduk dengan si sialan ini?
“Tak apa. Aku hanya ingin bertemu sebelum berpisah untuk
waktu yang lama.” Kuselingi lagi dengan tawa sekilas.
“Mau kemana?”
“Pindah. Sudah bosan disini.” Jujur. Ini bukan jawaban yang
seharusnya. Obrolan enam mata benar-benar menghancurkan rencana awalku.
“Benarkah? Kenapa?” Pertanyaan yang akan menghabiskan
waktuku kalau kujawab secara jujur. Walaupun sebenarnya sampai malam pun tak
apa, kalau kami berbicaranya dengan bebas, tanpa gangguan, tanpa pengganggu.
“Tak ada alasan. Hanya bosan.” Aku terus menjawabnya sambil
memberikan sunggingan kecil pada sudut bibir ini.
“Ya sudah, hati-hati ya.”
Aku tak begitu bodoh. Kalau indra keenam untuk melihat hal
gaib, indra kesekianku sangat kental kala aku tahu apa yang sebenarnya ada
dalam otak dan perasaanmu. Kau ingin menanyakan lebih jauh mengenai hal itu,
kan? Kau ingin menanyakan alasannya, kan? Bahkan kau ingin melarangku, kan?
Bukan sok tau. Tiga tahun lebih aku sudah mengenalmu.
Tatkala seperti pasangan yang menghitung maju usia hubungan mereka dalam rentang
bulanan, sudah empat puluh bulan kita bersama. Sifat baikmu? Aku sudah
mengaguminya. Sifat burukmu? Aku sudah hapal akan itu. Cita-citamu? Aku sudah
bosan kala kamu mengutarakannya terus menerus ketika melihat orang lain
meraihnya terlebih dahulu. Sempat tahun kedua, kamu membuat kesalahan dan
menyia-nyiakan kepercayaanku, tapi tetap komitmen yang kita buat juga pasti
untuk kebaikan kita. Jelas malamnya kamu berjanji bahwa itu tak akan terulang
lagi kedua kalinya. Sudah kutebak, permintaan maaf itu akan muncul dari mulutmu
dan akan kuterima. Aku memang orang yang baik—terlalu baik mungkin kalau
diperhatikan oleh orang lain, sejam setelah aku menemukanmu berdampingan dengan
orang lain saja aku sudah memaafkanmu. Bahkan ingin menemuimu lagi, tapi tidak
karena gengsi ini keterlaluan untuk aku kalahkan.
Selang empat setengah bulan, kamu kulihat sedang bermain
dengan laptopmu di sebuah kedai kopi. Terlihat asik, dan sangat menikmati
waktumu. Kupandang saja dari kejauhan sudah cukup membuatku senang. Ketika kau
gulirkan badan untuk bersender, ada tangan yang melingkari bahu mungilmu. Sedetik
kemudian, bola mata kita bertemu dan kamu salah tingkah dan melepaskan
rangkulan itu. Aku tahu kamu ingin menghampiriku dan beralasan untuk dapat
menjelaskannya. Tapi gerak-gerikmu tertahan seiring lelaki di sebelahmu malah
memelukmu dari belakang.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Besok siangnya, kita sudah
jalan seperti biasa, menjemputmu dari kampus, nonton bioskop, makan, hingga
mengantarmu pulang hingga depan rumahmu. Seperti tak ada yang terjadi. Seperti
kamu melupakannya, dan berharap aku lupa, dan kamu tak perlu minta maaf, lagi.
Ya, memang aku melupakannya.
“Bodoh! Apa yang kau pikirkan? Kamu tahu apa yang kamu
lakukan?” Kurang lebih begitulah yang dikatakan teman-temanku. Benar mungkin
kata orang-orang, aku terlalu baik.
Sekarang, aku berniat mau minta maaf atas kejadian tiga
bulan yang lalu. Tapi keinginan itu kuhempaskan begitu saja. Berniat ingin memperbaikinya
dari awal. Berniat ingin menguji apakah kita masih bisa seperti biasa kalau dalam
status LDR. Berniat seperti orang lain yang masih dapat menghabiskan waktu
bersama meskipun hanya dihubungkan dengan sinyal dan internet, dan berniat
saling menghabiskan waktu untuk temu kangen ketika kita bertatap muka setelah
dipisahkan oleh ruang dan waktu.
“Ya, terima kasih.”
Aku tersenyum.
Lihat, aku masih bisa tersenyum.
Aku masih bisa merasakan senang bahkan saat kamu hanya
mengucapkan hati-hati—yang dengan kata lain kamu biasanya memperhatikanku,
apapun dari diriku. Masih bisa merasakan bahagianya diperhatikan, sesimpel itu.
Cukup baik kah aku? Atau bahkan kurang?
Kurasa aku sudah baik untuk hal ini.
“Aku duluan ya, jaga diri.” Aku bersalaman dengannya,
canggung memang. Menjabat tangan yang dulu kudekap bahkan saat aku tidak
kedinginan, hanya sekedar untuk membuktikan bahwa aku ada untuk dirinya, begitu
juga sebaliknya. Kita pernah bersalaman untuk perpisahan juga, tapi tak untuk
waktu yang lama. Tak untuk jarak yang jauh. Dan, tak untuk keadaan yang seperti
ini.
Bahagialah dengan orang lain.
Masih ingatkan, ketika aku sudah cukup bahagia melihatmu
nyaman dengan bersantai dan menikmati waktumu ketika di kedai kopi waktu itu?
Bahagiaku akan berlebih apalagi ketika kamu juga bahagia.
Bahagia karena apapun.
Karena siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar