"Ini siapa?"
"Lihat saja namanya siapa. Semangat buat hari ini, ya!"
Tertulis, Andri.
Dasar tidak sopan. Katanya tadi malam ingin menelpon pacarnya dengan alibi sinyal. Dia malah dapat nomer baruku, dan aku 'dipaksa' untuk punya nomernya.
Iya, pacarnya dia. Aku tidak salah ngomong.
Kita sudah tidak ada hubungan sejak dia kuliah di luar negeri. Dengan alasan jarak, rasanya sangat manusiawi jika aku tidak akan memberikan kepercayaanku kepada lelaki buaya itu.
Benar saja, seminggu setelah kepergiannya, kulihat instagram-nya dan dia meng-upload foto berpelukan dengan seorang gadis berwajah keturunan latin.
Setelah 5 tahun sejak kepergiannya, Andri kembali dengan membawa perasaan tanpa berdosa ke tanah air dan mengajakku makan malam.
Dara dan Hilman, teman-teman kuliahku, kupaksa untuk menemaniku malam itu.
Semuanya berjalan begitu singkat. Aku bersiap, dan satu jam setengah kemudian aku sudah duduk berhadapan dengan Andri. Oh ya, Dara dan Hilman duduk di meja yang lain. Andri memintanya karena kami hanya ingin empat mata. Sial.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik."
"Kau tak tanya kabarku?"
Cih, jangan harap. "Ya, bagaimana denganmu?"
"Apanya?"
"Kau tadi mintanya apa?"
"Oh, kabarku? Baik. Hehe."
Dia tertawa garing, dan mendekatkan kursinya kepadaku.
Kulirik meja di sebelah, Dara dan Hilman malah asik pacaran. Menyebalkan. Padahal, yang kutahu, kita sedang tidak double date. Yang ada sepasang yang bahagia, dan seseorang yang kembali ke mantan setelah dicampakkan.
"Kamu sudah punya pacar?"
Bukan urusanmu. "Belum."
"Kenapa?"
"Ya, belum."
"Kau tak tanya bagaimana denganku?"
Ini menjijikan. "Kalau kamu?"
"Sudah." Itu hal yang bodoh untuk dipertanyakan.
"Baguslah."
"Ah... lowbatt! Boleh kupinjam handphone-mu? Aku ingin mengabari pacarku."
Kau ingin membuatku cemburu? "Ini."
Dengan gelagat menelpon, dia akhirnya memberikan tanda kalau tidak diangkat.
Tunggu, handphone pacarmu, kau yang bawa? Kenapa yang bunyi barusan itu handphone-mu? Bodoh.
"Ini, terima kasih."
Ya, terima kasih juga sudah meninggalkan aku waktu itu. "Ya. Aku mau pulang duluan. Sampai jumpa." Kuberanjak dari meja itu dan menarik Dara dan Hilman yang sedang sibuk suap-suapan.
Oh, Tuhan. Malam minggu yang buruk.
--------------
"Selamat pagi, bidadari!", dari Andri.
Sempat kupikir kalau itu orang salah kirim, tapi Andri bodoh yang mana lagi kalau bukan dia?
"Pagi."
"Kuliah? Kujemput ya. 10 menit lagi aku sudah disana. See you."
Permisi. Hal sampah apa lagi yang akan dilakukannya kali ini? Membuat masalah dan memaksaku untuk turun di pinggir jalan (lagi)?
"Tak usah."
Ada bunyi klakson dari depan rumah.
Skip.
Skip.
Skip.
Langsung saja ke pembicaraan yang selanjutnya.
Ya, kalian pasti tahu apa yang terjadi pada saat perjalanan itu.
Seperti radio, dia berbicara sampai mulutnya berbusa, dan aku hanya mendengarkan dan menjawab sekenanya.
"Sudah sampai. Hubungi aku kalau kamu sudah selesai. Sampai ketemu nanti. Aku mau jemput pacarku dulu."
Tak kujawab. Tak mau kujawab. "Ya."
--------------
Kehadirannya dapat mengubah kehidupan dan perilaku seseorang dalam sekejap mata, hanya dalam hitungan detik, cinta membuat tangis dan tawa seolah tak ada bedanya. Yang lebih parah, si biang keladi yang namanya cinta ini pun bisa membuat hidup atau mati seseorang terlihat sama dan tidak ada bedanya. Cinta memang sengaja diciptakan oleh Tuhan kepada manusia sebagai anugerah terindah untuk membuat hidup mereka lebih berwarna, tidak monoton, dan dinamis. Tapi untuk apa kalau ada anugerah yang melukai? Bukan sebatas menyakitkan, tapi kelak noda itu akan memberi bekas pada perasaan yang sudah beranjak jauh meninggalkannya. Itu akan membuat jiwa ingin kembali merasakan rasa yang pernah ada.
Tunggu.
Apa baru saja aku bilang kalau aku rindu dengan hidung belang itu?
Tidak.
Tidak akan.
Aku belum cukup gila untuk tindakan bodoh itu.
Cukup keledai saja yang bisa jatuh ke lubang yang sama.
// Toh, dia juga sudah punya pacar. //
Pacarnya cantik, sekali.
Makanya, lebih baik aku jangan berharap.
Haruskah berharap sama pribadi macam dia?
Ah.
Tak tau.
Bisa saja ya?
Apa dicoba dulu ya?
Ah, sial.
--------------
1 minggu setelah itu dia menghilang lagi. Lagi.
Tidak untuk menghilang dengan alasan yang tidak jelas.
Kali ini termasuk jelas.
Cukup jelas.
Dia menikah.
Entah cerita ini harusnya berakhir dengan nada happy ending atau sad ending.
Aku baik-baik saja, tapi rapuh.
Jujur saja, rasa sayang itu masih ada.
Terima kasih kenangan.
Setidaknya aku masih bisa mengecap hal-hal yang telah lalu.
Walau pilu, kau paksa aku menyimpan perasaan ini untuk kupendam seorang diri.
Sekali lagi, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar