November 19, 2013

Bangsa Jajahan dan Keturunannya

“Persetan denganmu!”

Semakin banyak perkataan yang keluar dari mulut mereka, semakin keji perbuatan yang istri mereka akan terima.

Erangan para kaisar ini seperti berbanding terbalik dengan pembataian tiga hari yang lalu.

Rakyat diperlakukan layaknya budak tak berupah.

Semuanya mulai terpampang jelas saat bangsa Phylipos berhasil menguasai mercusuar tengah kota.

Kebengisan petinggi jajahan terus berkelanjutan hingga ke anak-anak. Bagaimana bisa, seorang bocah sepuluh tahun harus menyetubuhi orang dewasa?

Tanpa terkecuali, Natsyeba, janda cantik beranak dua, yang mendapat perlakuan seperti kaum hawa lainnya.

Dan pesan yang dia tinggalkan sebelum habis nyawanya kepada anaknya,

“Lanjutkanlah keturunan. Suatu saat nanti, kita yang akan menang.”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

Lihat, Itu Dia!

“Kali ini tentang apa?”

“Pakaian musim panas! Kau jangan jelalatan ya, ada model terkenal juga.”

“Iya.” Tukasku, pacar yang baik harus menurut, kan?

Tepat pukul tujuh malam, aku sudah mengenakan baju kemeja rapih dan duduk berdampingan dengan Diana di baris terdepan kursi VIP.

Satu hal, aku selalu bingung dengan orang-orang yang berlenggok di panggung itu. Mereka kembar semua? Mengapa wajahnya sama semua?

Kegalauanku dihamburkan dengan sumringahnya Diana,

“Lihat! Itu guest starnya!”

“Oh, Adriana Lima?”

“Iya, kau pintar!”

Bagaimana tidak? Dia sudah menyebut nama itu beribu kali tadi. Yah, meskipun aku tak tahu mana orangnya. Sekali lagi, mereka (mungkin) kembar, menurutku.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 18, 2013

Cinta Dibalik Kacamata

Meja langsung penuh dengan sebelas buku antropologi tebal yang akan kupinjam.

Tiba-tiba kepekaanku muncul, ketika menunggu si pustakawan mendatanya.

Dari kejauhan, sebuah tatapan tajam berselimutkan kacamata seperti tak berujung ditujukan ke arahku.

Kulihat, sekelibat orang malah sibuk jongkok dan berdiri mencari di antara rentetan buku.

“Ah, hanya perasaanku.”
 
Tiba-tiba, mataku seperti tertarik magnet,  ke sumber suara, tepat arah jam empat di belakangku.

“Kamu yakin mau buat ringkasan dari tumpukan itu?”

“Iya, kenapa memangnya?”

“Butuh bantuan?”

“Tak usah.”

Aku tak berani menatapnya. Ya, sepasang mata itulah yang membuat aku tak berhasil tidur nyenyak saat pertama kali aku membawanya ke dalam mimpiku.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 17, 2013

Mati Aku!

Kulihat keringat mengucur deras dari baju basketnya. Dua detik kemudian, aku seperti dihipnotis, aku menghampirinya ke tengah lapangan. Langsung, kukeringkan keringatnya dengan sapu tangan hijau pupusku.

Puluhan tatapan aneh langsung ditujukan kepadaku.

Gayaku yang terkesan lolly, malah membuat sebagian besar mata lelaki di pinggir sekolah mendelik disertai mulut yang menganga.

Kecuali Andika!

Ya, kecuali dia. Padahal sudah kupertaruhkan rasa maluku. Apa yang dia lakukan?

Bukannya menatapku bahkan mengucapkan terima kasih kepadaku.

Ternyata, arah pandangan matanya jauh melayang ke lantai dua, ke tempat dimana seorang laki-laki pemain futsal memandanginya juga.

Menatap, tersenyum, dan kemudian memberikan tanda kecupan.

“Mati aku.”

Aku membisu.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 15, 2013

Salah Sensasi

Kamu bangga dengan tingkahmu yang  mempermalukan dirimu sendiri?”

Ternyata tulisanku di twitter itu terbaca oleh Shinta.

Keesokannya, dimana embun masih berteman dengan kicauan burung di atas atap sekolah.

“Apa maksudmu? Apa urusanmu?”

“Kamu ngomong apa?” elakku sambil sengaja memperlihatkan kalau sebenarnya benar dialah yang kumaksud.

“Muka dua! Di depan, kamu dukung aku, di belakang, kamu tusuk aku. Maumu apa?” intonasinya meninggi.

“Tak usah berpura-pura. Kamu mau cari sensasi? Kamu terobsesi biar dikenal orang?” balasku untuk tetap tenang sambil berusaha membuatnya sakit hati dengan kata-kataku.

Tak peduli, aku ingin membela yang benar, bukan seorang yang layaknya tak punya harga diri sepertinya.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 14, 2013

Domba Berbulu Serigala

“Orang Jepang KW berapa dia? Tangan, kaki, punggung, semua penuh dengan tato.”

“Hus! Itu atasanku, yah! Jangan keras-keras, nanti dia dengar!”

“Lihat saja perawakannya. Sama sekali tak pantas jadi seorang boss.”

“Sudahlah, yah. Jangan liat orang dari luarnya saja dong.”

“Gimana tidak melihat luarnya saja? Ayah lihat penampilannya saja sudah muak, apa lagi sampai tahu karakternya?”

“Ah, terserah ayah.”

Mungkin mengalah adalah jalan terbaik. Tapi setidaknya, si boss dari negeri Sakura itu tak seburuk penampilannya. Layaknya, domba berbulu serigala.

Wajar aku membelanya mati-matian, dan mungkin ayah perlu tahu, kalau bossku itu sekarang adalah salah satu gebetanku gara-gara kebaikannya kepadaku.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

Dimulai dari Permainan

“Delapan… Sembilan… Sepuluh! Ah, Aldi kena!”

“Curang! Kamu curang! Hitungnya yang benar dong!”

“Jangan mengelak! Aku sudah hitung dengan benar tadi, kamu saja yang lambat!”

Semakin sore, dan azan maghrib pun berkumandang. Kami menyudahi permainan kami.

Satu yang membekas saat selesai permainan. Bukan, bukan kotoran ataupun luka.

Tapi, seorang gadis yang tadi duduk sambil terus memerhatikanku dari pos satpam.

Entahlah, saat aku memenangkan permainan, dia terlihat sumringah kegirangan, jika aku kalah, wajahnya seperti memberikan semangat kepadaku.

Jangan salah, aku juga memperhatikannya tanpa sepengetahuannya tadi. Mata dan hatiku seperti terkena virus, kalau kata anak gaul, virus cinta. Sekali didapatkan, susah dihilangkan.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 12, 2013

Mimpi Tujuh Hari yang Lalu

"Ini deja vu! Ini deja vu!" Jeritku kepada Aldira. Kutarik bajunya dan kupaksakan dia mengerti tentang maksudku.

"Benar! Aku seperti pernah merasakan semua ini sebelumnya! Kumohon percayalah!"

"Hei! Kamu baru saja bersin di depan makam ayahmu! Apanya yang pantas dibilang deja vu?"

Aku sangat ingat. Tujuh hari yang lalu, aku bermimpi seperti hal yang kualami sekarang.

Melihat ayah sudah dengan berbalut kain kafan.

Apa maksud mimpi itu? Apa Tuhan bermaksud untuk mempersiapkan diriku? Aku tak tahu tujuan Tuhan, dan aku tidak mau menerima kenyataan pahit ini.

Intinya, aku seperti tak mau bermimpi lagi, kalau akhirnya hanya menyisakan jeritan dan tangisan.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 09, 2013

Raga dan Pikiran Tak Berada di Satu Panggung

“Alasanmu klasik! Konsentrasi dong!”

Bibirku seperti terkunci, keringatku seperti terkuras habis. Sungguh, dipermalukan itu tidak enak.

Lamunanku lima menit yang lalu, membawaku jauh berada di sebuah panggung. Bukan, bukan panggung ini. Tetapi, panggung dimana aku masih berpijak di tempat yang sama dengan seseorang yang dulu pernah aku cintai.

“Move on! Move on!” kata konflik batinku yang terus menuntut hati nuraniku.

Tak sengaja, flashback tentang segala kenangan bersamanya terekam kembali.

Ternyata lucu, kami dipertemukan dan dipisahkan di sebuah panggung sandiwara dalam waktu yang terhitung singkat.

Bukannya mau membohongi perasaanku, tapi cinta memang tak dapat ditolak kehadirannya dan tak dapat dicegah kepergiannya.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 08, 2013

Sebungkus Kopi yang Tak Bertuan

Sebungkus kopi hitam lengkap dengan surat manis bergambarkan karakter Disney.

“Ini dari siapa?”

“Dia tahu hobiku? Menyeruput secangkir kopi panas? Siapakah gerangan?”

Sambil celingukan melihat sekitar rumah, kubaca suratnya. Kosong. Tanpa nama, tanpa alamat, bahkan tanpa kode yang jelas untuk siapa itu diberikan.

Di rumah ini, hanya ada aku, dan adikku.

“Setauku, adik lebih suka minum teh manis daripada minum kopi pahit.”

Tak sampai 10 menit, di depanku sudah terhidang secangkir kopi berampas yang berasap. Handphoneku bergetar, dan kubuka pesan singkatnya. Isinya,

Selamat menikmati kopinya. Aku (masih) sayang kamu!

Itu dari Yulia, yang minggu lalu baru saja menyandang status ‘mantanku’.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

November 07, 2013

Janda atau Pedofil?

“Itu salah satu mantanmu lagi, Nak?”

“Iya, Bu. Kenapa memangnya?”

“Apakah seleramu memang begitu? Seorang janda? Apa kamu tidak mau berpacaran saja dengan gadis yang masih perawan?”

Perdebatan dengan ibuku di sebuah rumah makan ketika kami makan bersama itu bermulai ketika aku menceritakan tentang perjalanan cintaku yang lagi-lagi kandas.

“Bu, aku ini sudah 30 tahun. Kalau sama anak kecil, nanti aku dianggap seorang pedofil!”

Kupikir, ini bukan masalah perawan atau tidak perawan. Tapi, aku hanya siap untuk menikah. Apakah mungkin aku menikahi seorang gadis berumur 17 tahun?

Keras kepalanya ibu akhirnya membuatku berpikir, bagaimana masa depanku nanti?


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)

Arah Mata Angin Jam Sebelas

“Hei!”

“Ah, dasar! Kau selalu menganggu tidur manisku saja!” keluhku kepada Andrea, perempuan berperawakan mungil yang sedang menjalin hubungan spesial denganku.

Kafe langgananku ini bukannya tidak laku, melainkan suasananya saja yang tidak mendukung, terhimpit di antara hotel berbintang empat dan kantor bertingkat delapan lantai. Namun, tetap saja perasaan nyamanlah yang menahanku untuk tetap berada bahkan tertidur di sini.

Sabtu lalu, seperti biasa, aku tertidur di jam-jam genting. Alurnya sama, Andrea membangunkanku dan aku tertidur lagi. Tidak! Waktu itu hanya hampir tertidur lagi.

Alasannya, arah jam sebelas dariku ada mantan terindahku. Mataku terbelalak. Aku terdiam. Pikiranku jauh melayang ke masa lalu.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata.  (http://sindyisme.blogspot.com/2013/11/ff100kata.html)