Januari 04, 2014

Yang Penampilannya Terlihat Baik

                Perasanku yang peka membuatku tahu, bahwa telah 7 detik dia memandangku. Tepat detik ke-8, kubalas pandangannya. Dapat kutebak, lengosan dan kepura-puraan-untuk-tidak-melihatku lah yang aku terima di detik ke-9.

                Saat aku membersihkan meja yang baru saja ditinggali tip, jam dinding di atas pintu masuk café itu sudah menunjukkan pukul 8.

                “Wah, sudah ganti shift.”

                Tempat kerja part timeku ini memiliki 3 jam ganti pekerja. Dan, pada malam minggu itu, aku mendapat jatah shift kedua, dari jam 3 siang sampai jam 8 malam.

                Kubersihkan celemekku, kulipat dan kumasukkan tas. Rencananya, aku akan mampir ke toko buku yang berjarak sekitar 2 kilometer dari tempatku mencari uang itu. Membeli buku cerita bergambar untuk adikku dan buku masak untuk ibuku.

                Tapi semuanya seperti terhenti ketika seorang pria tanggung memanggilku, saat baru keluar dari café.

                “Hey!”

                “Ya? ”

                “Mau langsung pulang? Butuh tebengan?” katanya dalam bahasa inggris. Tentu disertai dengan senyumnya yang menurutku cukup manis.

                “Tidak, aku mau ke toko buku itu.” sambil menunjuk jalan ke arah toko tersebut. “Ada yang bisa aku bantu? Maaf, aku sudah ganti shift.”

                “Boleh aku tahu namamu?” juluran tangannya diberikan kepadaku, tak menjawab pertanyaanku dan terlalu berani, menurutku.

                “Jeje.”

                “Gibran.”

                Aku bergidik, apa maunya. Memandangiku cukup lama, mengajakku berkenalan, dan menawariku tumpangan.

                “Mau kemana tadi?” katanya. Aku tahu, itu pertanyaan basa-basi.

                “Toko buku.” kutunjuk lagi jalannya.

                “Mau kutemani? Banyak preman disini.”

                “Tak usah, aku bisa sendiri.” nada bicaraku mulai datar.

                “Taka apa-apa. Aku tak sibuk kok.”

                Memang ada yang bertanya kau sibuk atau tidak? Anak remaja tak jelas tujuannya ini masih memaksaku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan permintaannya.

                “Sip.” katanya sambil tersenyum lebar.

                Dibukakan pintu mobil belakangnya untukku. Ternyata di kursi depan sebelah kursi supir, ada seorang wanita-tua-yang-sok-berdandan-muda. Tanpa suara. Tanpa respon ketika aku masuk ke dalam mobil. Bahkan dia tak memandangiku dari kaca tengah mobil.

                Gibran masuk mobil dan berkata,

                “Sabar sayang, kita sudah mau jalan lagi.”

                ‘Sayang’? Aku berpikir, Gibran-yang-cukup-manis itu punya masalah orientasi seks yang menyimpang.

                Mobil pun melaju cukup kencang. Hingga kami akhirnya melewati Jl. M.H. Thamrin. Banyak polisi yang berjaga disana. Aku yang jarang naik kendaraan pribadi tidak tahu apa-apa tentang hal itu.

                “Sudah sampai sini saja. Aku bisa jalan kesana.” kataku setelah mobil Gibran tiba di seberang toko berplang “Caterpillar Bookstore”.

                “Baiklah.” balasnya.

                “Ini. Terima kasih ya.” katanya sambil memberiku uang.

                “Buat apa? Tapi, terima kasih ya.” tak butuh jawaban, aku pun keluar dari mobil.

                Sambil menyebrang, aku memasukkan uang yang diberikan Gibran ke kantong bajuku dan berpikir, apa penampilanku cocok jadi joki?

                “Mungkin cocok, tapi tidak untuk laki-laki muda yang doyan tante-tante lagi. Kerjanya gampang soalnya, cepet dapat uang.” batinku, sambil tertawa kecil dan memukul jidatku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar